Label

Kamis, 19 Januari 2012

Aqiqah

Aqiqah berasal dari kata ‘Aqq yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa
aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong,
dan dikatakan juga bahwa ia adalah rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.
Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang
dilahirkan.

Hukum aqiqah
menurut pendapat yang paling kuat adalah sunnah muakkadah, dan ini adalah pendapat Jumhur
Ulama, berdasarkan anjuran Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan praktek langsung
beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam.
“Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan) dan bersihkan
darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).”
(HR: Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Perkataannya Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya:
“maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib,
karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang
ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.”
(HR: Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).
Perkataan
beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya:
“ingin menyembelihkan,..”
merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.
Hikmah Aqiqah
Aqiqah Menurut Syaikh Abdullah nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam sebagaimana
dilansir di sebuah situs memiliki beberapa hikmah diantaranya :
1. Menghidupkan sunnah Nabi Muhammad
Shallallahu alahi wa sallam dalam meneladani Nabiyyullah Ibrahim alaihissalam
tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus putra Ibrahim
yang tercinta Ismail
alaihissalam.
2. Dalam aqiqah ini mengandung unsur perlindungan dari syaitan
yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna
hadits, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya.” . Sehingga Anak
yang telah ditunaikan aqiqahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan
syaithan yang sering mengganggu anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al
Imam Ibunu Al Qayyim Al Jauziyah “bahwa lepasnya dia dari syaithan
tergadai oleh aqiqahnya”.
3. Aqiqah merupakan tebusan
hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari
perhitungan. Sebagaimana Imam Ahmad mengatakan:
“Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan aqiqahnya)”.
4. Merupakan bentuk taqarrub
(pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus sebagai wujud rasa syukur
atas karunia yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lahirnya sang anak.
5. Aqiqah sebagai sarana
menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari’at Islam & bertambahnya
keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah
SAW pada hari kiamat.
6. Aqiqah memperkuat ukhuwah
(persaudaraan) diantara masyarakat.
Dan masih banyak lagi hikmah
yang terkandung dalam pelaksanaan Syariat Aqiqah ini.
Hewan Sembelihannya
Hewan yang dibolehkan
disembelih untuk aqiqah adalah sama seperti hewan yang dibolehkan disembelih
untuk kurban, dari sisi usia dan kriteria.
Imam Malik berkata:
Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah(kurban),
tidak boleh dalam aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit.
Imam Asy-Syafi’iy berkata:
Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan
dalam qurban.
Ibnu Abdul Barr berkata:
Para ulama telah ijma bahwa di dalam aqiqah ini tidak diperbolehkan apa yang
tidak diperbolehkan di dalam udhhiyah, (harus) dari Al Azwaj Ats
Tsamaniyyah (kambing,domba,sapi dan unta), kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap.
Namun di dalam aqiqah tidak diperbolehkan berserikat (patungan, urunan) sebagaimana dalam udhhiyah,
baik kambing/domba, atau sapi atau unta. Sehingga bila seseorang aqiqah dengan sapi atau unta, itu hanya cukup bagi
satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang.
Kadar Jumlah Hewan
Bayi laki-laki disunnahkan untuk disembelihkan dua ekor kambing
dan bayi wanita cukup satu ekor kambing saja.
Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata, yang artinya:
“Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan agar dsembelihkan aqiqah dari
anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.”
(Hadits sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
Dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata, yang artinya:
“Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak
laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor.”
(Shahih riwayat At Tirmidzi)
Namun bila tidak memungkinkan, maka boleh saja dan sudah cukup satu ekor
untuk bayi laki-laki, karena Rasulullah SAW pun hanya menyembelih satu ekor
untuk cucunya Hasan dan Husein.
“Adalah Rasulullah SAW menyembelih hewan aqiqah untuk Hasan dan Husein
masing-masing satu ekor kambing ?”. (HR Ashabus Sunan)
Aqiqah haruskah hewan jantan?
Baik dalam aqiqah maupun udhiyah (kurban) tidak ada persyaratan bahwa hewannya harus jantan atau betina. Keduanya bisa dijadikan sebagai hewan aqiqah atau kurban.
Akan tetapi yang lebih diutamakan adalah hewan jantan agar kelangsungan reproduksi hewan tersebut tetap terjaga.
Waktu Pelaksanaannya
Pelaksanaan aqiqah
disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu
alaihi wa Sallam, yang artinya:
“Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya,
disembelih darinya pada hari ke tujuh,
dan dia dicukur, dan diberi nama.”
(HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas,
dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu,
ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah
dari ayahnya dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkatayang
artinya: “Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke
dua puluh satu.” (Hadits hasan riwayat Al Baihaqiy)
Namun setelah tiga minggu
masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu,
karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu
adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib.
Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.
Bayi yang meninggal dunia
sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan aqiqahnya, bahkan
meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam
kandungan ibunya.
Aqiqah adalah syari’at yang ditekan kepada ayah si bayi.
Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar,
maka dia bisa menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri.
Namun demikian, jika ternyata ketika kecil ia belum diaqiqahi,
ia bisa melakukan aqiqah sendiri di saat dewasa.
Satu ketika al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, “ada orang yang
belum diaqiqahi apakah ketika besar ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri?”
Imam Ahmad menjawab, “Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika kecil,
maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa.
Aku tidak menganggapnya makruh”.
Para pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat demikian.
Menurut mereka, anak-anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang
tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri.
Pembagian daging Aqiqah
Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya,
dan mensedekahkan sebagian lagi.
Dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan daging aqiqah yang sudah matang.
Ulama berkata:
Sunnahnya dia memakan sepertiganya,
menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya,
dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin,
dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya,
atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya.
Hukum memakan daging aqiqah
Daging selain disedekahkan juga bisa dimakan oleh keluarga yang melakukan aqiqah.
Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra.,
“Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan.
Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya.
Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh”. (HR al-Bayhaqi).
Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar